naimi mengerjapkan matanya, sekarang hanya suara bising dari televisi yang masih menyala, ia masih disofa ruang tamu. selimut tebal menyelimutinya, sepertinya ia tertidur disini.
matanya terbuka dengan lemah, dirasanya wajahnya kering. mungkin karna ada jejak air matanya yang mengering.
ia melihat album foto diatas meja, alisnya menyatu. siapa juga yang memberantaki album foto malam-malam begini, naimi bahkan tak tahu sekarang jam berapa.
ia melirik jam angka digital pada meja, 4.29 am.
sudah kemudian hari, sekarang adalah hari keempat naimi berada dicanada. dan dini hari esok ia sudah harus terbang kembali ke indonesia.
naimi menduduki dirinya, betapa kagetnya ia yang baru menyadari kakeknya duduk dilantai diapit dengan sofa dan meja.
“oh, kamu sudah bangun? pagi sekali, maafkan kakek jika mengganggu tidurmu dengan menyalakan tv dini hari.” ucapnya, naimi melihat senyum sang kakek.
naimi tak langsung menjawab, ia masih mencerna kata-kata sang kakek. jika menjadi naimi, apakah kalian akan bingung juga? karna jujur saja, naimi sangat amat bingung sekarang.
“sini duduk bersama kakek, kakek ingin menceritakanmu sesuatu.” kakek menepuk bagian kosong disebelahnya, dan tentu naimi lakukan. sekarang mereka duduk berdua, dengan foto-foto dari album yang berserakan dengan muka seseorang yang banyak sekali difoto yang berbeda.
“naimi.. maaf kan kakek ya? karna kakek tidak langsung menenangkanmu tentang hal tadi. kakek menghargai kamu, kakek senang jika kamu mencintai dan dicintai seseorang sekarang.” ujar sang kakek, naimi melihat senyum kakek yang begitu tulus disana. hati naimi menghangat, semua seakan terbakar dan hangus menjadi debu dan terbang terbawa angin.
“apakah.. kakek tidak kecewa dengan naimi?.” tanya naimi dengan ragu. suaranya masih serak karna beberapa menit lalu baru saja bangun dari tidurnya.
sang kakek menggeleng, “tidak sama sekali, untuk apa kakek kecewa? semua yang ada dalam hidup naimi adalah milik naimi, kakek tidak punya hak untuk mengatur, kakek biarkan kamu menikmati hidup kamu, kakek mendukung kamu. dengar ya naimi, kakek akan selalu bangga mempunyai cucu seperti naimi.” tutur sang kakek, ibu jari kakek menghelus pipi berisi milik naimi.
rasanya ia ingin menangis lagi sekarang.
“kakek belum melihat bentuk wajah kekasihmu, siapa tadi namanya?.”
naimi tersenyum, ia cepat-cepat mengambil ponselnya. naimi mengotak-atik ponselnya sebentar lalu mengasih hpnya yang menampakan wajah lakana dan dirinya bersamaan.
“lakana meijr.” jawab naimi dengan jelas.
sang kakek memperhatikan ponselnya dengan lamat, “bagaimana sifatnya?.” sambil tersenyum, sang kakek mengembalikan ponsel itu kepada naimi.
naimi terkekeh, “dia baik, baik sekali. pertama kali ketemu dengan naimi.. pada saat kita kelas 2 smp. kita sekelas, dan duduk sebangku. lakana duluan yang ngajakin aku kenalan, kelas 9 kita sekelas lagi dan seterusnya kita selalu bersama, lakana pula yang menyatakan perasaannya lebih dulu. aku sayang banget sama lakana, sesayang itu.” naimi mengakhiri kalimatnya sambil melihat sang kakek yang juga menatapnya sambil tersenyum. rasanya lega sekali, akhirnya bisa menceritakan lakana seperti sekarang ini
“oh.. my grandson is in love so bad.” keduanya tertawa.
naimi melihat sang kakek mencari foto yang berserakan diatas meja.
“kakek ingin mengenalkan seseorang juga kepada kamu, naimi.” ucap kakek, sambil menggenggam satu foto.
“siapa?.”naimi menautkan alisnya begitu sang kakek menunjukkan satu foto yang merupakan kakeknya, dan satu orang lainnya, terlihat sedang tertawa bersama.
“dia.. siapa? yang berambut silver itu kakek kan?, lalu yang satunya lagi siapa? dia.. mirip sekali dengan lakana.” tanya naimi dengan ragu-ragu. wajah orang itu mirip sekali dengan kekasihnya.
“kamu juga memikirkan begitu kan?, begitu melihat kekasihmu juga kakek langsung teringat dengan dia.” jawab kakeknya sambil tersenyum.
“kakek pikir teori dilahirkan kembali hanyalah mitos, namun.. begitu melihat kamu.. kakek melihat diri kakek.” naimi memiringkan kepalanya, bingung.
“biar kakek ceritakan.”
7 july 1975
pada awal tahun 1975. dimana pada tahun itu negara jepang masih melakukan perang dengan negara tentangga. hari-harinya tak enak, karna harus mendengar suara tembakan atau bom yang diledakan. hanya membuat ia takut.
michiko pada umurnya yang ke 21 tahun, menjadi anak pertama dari seorang presiden pada kala itu. hidupnya penuh dengan perlindungan, ayah dan ibunya tak membiarkannya untuk keluar istana sekali pun. yang ia lakukan dikamar biasanya hanya belajar.
ia selalu ingin tahu tentang dunia luar, tapi paling jauh michiko hanya diperbolehkan gerbang istana. membosankan bukan?
michiko tak lagi takut dengan serangan dari negara lain kepada istananya, ia bahkan menyerahkan nyawanya jika harus terbunuh. ia malas, ia tak lagi memiliki semangat hidup jika harus dikurung terus begini.
“permisi, kepada tuan michiko sonia, dimohon untuk keluar dari kamar karna mendapatkan panggilan dari sang presiden.”
michiko menghela napas berat. ia membuka pintu kamarnya, dilihatnya para prajurit. 5 prajurit, 1 yang badannya paling besar berdiri paling depan. wajah baru.
“dimana letnan jiro?.” tanya michiko.
“letnan jiro gugur pada perang kemarin, tuan. saya naoko kana, selaku letnan yang baru dan akan menjadi prajurit pribadi untuk tuan michiko.” jawab prajurit didepannya dengan tegas.
michiko menatap naoko lamat-lamat. lalu berlelang, berjalan mendahului para prajurit.
mereka berbicara dengan bahasa jepang.
“tuan michiko, izinkan saya jalan didepan anda untuk menjaga anda sebagai berjaga-jaga ada serangan dari musuh.” ucap letnan naoko, michiko spontan mengangguk. ia juga tidak masalah jika para prajurit jalan mendahuluinya. toh mereka hanya berjalan disekitar istana.
sampailah diruangan presiden, ruang ayahnya.
ada prajurit lainnya yang berjaga menjaga pintu ruang presidennya, mereka membukakan pintu untuk michiko. michiko masuk kedalam, tak lupa berterima kasih kepara prajurit itu.
“letnan naoko kana, kau diperbolehkan masuk.” ucap sang ayah, kini ayahna duduk pada meja kerjanya, tanpa perlu perizinan michiko duduk dikursi yang ditempatkan berhadapan dengan ayahnya dan letnan naoko berdiri tegap dibelakang sebelah kanan michiko.
michiko menghela napasnya, melihat dua prajurit yang berjaga untuk presiden dibelakang kursi milik ayahnya.
“jadi, michiko. ayah perkenalkan kamu kepada naoko kana, ayah menaikkan pangkat naoko sebagai letnan sekaligus sebagai prajurit pribadi kamu, sebagai pengganti letnan jiro. dia gugur pada perang. kesalahan ayah membiarkan dia melawan para musuh bukannya menyuruh dia untuk setia menjagamu. maafkan ayah-”
“ayah tak seharusnya minta maaf, karna tanpa perlindungan saja aku tetap hidup ‘kan?.” balas michiko dengan lembut. ia tak ingin ayahnya terlalu sakit untuk menjaganya.
“ayah, jika aku diperbolehkan untuk keluar dari kamar mengapa mizuko tidak diperbolehkan?.”tanyanya, michiko memiringkan kepalanya.
BRANG! …
bangunan berguncang, ledakan yang sangat dekat lokasinya pada mereka hingga asap abu dapat terlihat dijendela ruangan. letnan naoko spontan melindungi tubuh michiko dengan armor nya yang sempat ia taruh dipunggung.
michiko pula langsung melindungi diri, karna ia spontan beranjak kearah kanan, ia bertabrakan dengan dada letnan naoko. pinggangnya direngkuh dan sekarang seluruh tubuhnya dilindungi oleh letnan naoko.
“sebaiknya kita keluar dari sini,tuan.” ucap letnan. mata mereka bertemu, michiko mengangguk cepat.
sedangkan, sang ayah dibantu dan dilindungi oleh 2 prajurit pribadi lainnya yang ada didalam ruangan. setelahnya letnan naoko memutar tubuh michiko agar kembali kepintu dan keluar dari ruangan presiden dibantu perlindungan dari prajurit lainnya.
“letnan, nyonya sonia menanyakan kabar tuan michiko, apakah tuan michiko aman.” itulah yang michiko dengar dari suara yang bersumber dari handy-talky yang terpasang pada pinggang letnan naoko.
michiko mengambil handy-talky itu, “balas, tuan michiko, aman. jaga ibuku.”
“laksanakan, tuan.” michiko tersenyum tipis, setidaknya ia sudah memastikan ibunya aman sekarang.
sampailah pada kamarnya, “empat prajurit, berjaga didepan kamar. jangan ada yang mati.” dengan tegas serta suaranya yang berat, letnan itu berucap. michiko terkesima olehnya.
michiko dan letnan naoko, masuk kedalam.
didengarnya letnan naoko menghela napasnya lega, seperti ia berhasil melindungi michiko dari serangan musuh.
“aku nyaris mati.” celetuk michiko, sambil melempar tubuhnya sendiri kekasur.
letnan berbalik menghadapnya, berpas-pasan michiko menoleh kearah letnan barunya itu. michiko tersenyum, ia beranjak bangun lagi dan berjalan mendekati letnan. tangannya memegang handy-talky milik letnan dan berniat mengembalikannya.
“terima kasih sudah meminjamkan handy-talky mu, aku tidak akan tenang jika tak mengetahui kondisi ibuku. setelah mendengar kabar dari bawahanmu hatiku menjadi lebih tenang, walaupun aku tak bisa menaruh seratus persen kepercayaanku kepadanya.” ucap michiko, letnan naoko mengangguk lalu mengambil alih handy-talkynya dan mengembalikan benda itu keasal tempatnya.
“apakah kamu baru disini? aku belum pernah melihatmu sebelumnya?.” tanya michiko, ia berjalan mundur sampai bokongnya bertemu dengan bangku empuk didepan kasurnya itu. dan menatap lurus kearah letnan.
“saya ditugaskan untuk menjadi prajurit presiden sebelumnya tuan. sampai saya benar-benar mendapat kepercayaan oleh presiden, pangkat saya dinaikkan dan ditempatkan sebagai prajurit utama sekaligus ketua regu menjaga tuan michiko.” balas letnan dengan tegas. matanya tak membalas tatapan michiko, melainkan menatap lurus sesuai dengan tegaknya ia berdiri.
michiko ber-oh ria.
“karna sudah mendapatkan kepercayaan oleh ayahku, dengan begitu seharusnya kamu lebih ambisi membuatku percaya, aku tuan mu ‘kan?.” ujar michiko.
“ya, tuan. saya berjanji kepada anda akan lebih tegas menjagamu dari serangan maupun bukan. saya berjanji akan selalu ada disisi tuan, amupun saat perang atau bukan.” balas letnan dengan lebih tegas lagi, ia membuat michiko tertegun.
michiko membalasnya dengan senyum kebanggannya, setidaknya letnan naoko membuatnya lega. tak ada kebohongan dari muka tampan orang didepannya itu. visualnya pula membuatnya salah fokus.
michiko bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati prajurit pribadinya itu, “apakah keberatan jika aku menanya berapa usiamu?-” kalimat michiko terpotong karna pintu kamarnya yang dibuka secara paksa, letnan naoko spontan berbalik, dan bersiap menembakkan senjatanya namun terhenti karna ternyata itu hanyalah adik perempuan tuannya.
keduanya, letnan dan adik michiko terdiam.
“amicia?.” panggil michiko. letnan langsung menurunkan senjatanya.
“kakak!.” yang lebih muda 2 tahun itu membalas dengan teriakan semangatnya. dan si cantik itu segera lari kepelukan sang kakak.
“kakak, aku takut sekali kakak kenapa-napa, aku dengar tadi ada ledakan didekat ruang ayah ‘kan?, dan kakak ada disana ‘kan?. apakah kakak baik-baik saja?. aku khawatir.”
“kakak baik-baik saja, micia. kakak selamat berkat letnan naoko, dia prajurit pribadi kakak yang baru setelah keguguran letnan jiro.” balas michiko, keduanya menoleh bersamaan kearah letnan yang berdiri dihadapan mereka.
michiko tersenyum melihatnya. tatapan adiknya sangat polos saat menatap letnan.
“syukurlah kalau begitu.” ucap amicia, ia kembali mengalihkan tatapannya kepada sang kakak yang justru sedang menatap kearah letnan naoko.